Monday, September 3, 2007

MISKIN BANGSAKU


Derita rakyat yang kulihat
Saat jutaan milyar rupiah
kau raup tuk puaskan ambisi durjana
Kepongahan menyeruak membabi buta
Kedunguan bangsa adalah akibat dari semua

Bangsaku menderita karenamu
Bangsaku merana karena ulahmu
Bangsaku menjadi hina sebabmu
Bangsaku terbelakang karena tipuanmu
Bangsaku meraih ranking terkorup karenamu
Duhai koruptor negriku…

Riuh rendah suaramu pamerkan geliat kekuasaanmu
Anak jalanan dan pengemis lapar merintih dibawah kakimu
Tak kau pedulikan mereka menangis mengharap hibahmu
Kau bak patung firaun pecundangi rakyatmu

Duh…
Rakyatmu menjadi miskin
karena pongahmu…

Islamabad, 03 September 2007
Saat dirumah pras memikirkan miskinnya bangsaku.

Sunday, September 2, 2007

HANTU KOLONIALISME





Telah datang kepada kami
hidangan media lezat menggiurkan
Lelehkan air liur kehausan
Mengundang hasrat menggerogoti ideologi
Hingga terjual harga diri

Hilang budaya bangsa timur berharkat mulia
Berganti baju menjadi pengemis dari ragam ideologi kapitalis
Tak sadar kolonialisme baru telah datang
Menghantam jiwa dan semangat pejuang
Lunturkan idealis bangsa berperadaban

Duh....
Lelah sudah kami mengangkat senjata
Tuk hancurkan penjajahan harga diri bangsa
Tapi kini
kami dihadapkan pada musuh-musuh media
Yang Barat tebarkan bak virus mewabah
Perlahan namun pasti.
Kami terkulai layu penuh kedunguan
Menjadi hamba mereka kaum kolonial

Sadar . . .
Sadarlah bangsaku
Tak perlu kau ragu
Bentengi diri dan kencangkan tali sepatu
Hantamlah mereka dengan kuatnya kau punya serdadu
Hingga luput harga diri bangsa dari tajamnya sembilu


Islamabad, 02 september 2007
Nur rohim yunus
Tuk al-qolam ku yang tercinta

Tuesday, July 31, 2007

Mentari Pagiku


Mentari pagiku...
ketika sinarmu datang menyinar,
hati yang kelam timbul cahaya.
bersua raga hampa jadi gembira
meniti asa yang buram menjadi lentera.
dalam senyum,
ku songsong pagiku.


Nur ROhim Yunus, 31 Juli 2007

Buat Mentari Pagiku, Syarifah yang selalu terbit di langit biru.

Friday, July 27, 2007

KU LIHAT


Kulihat…
Ada serpihan kaca memberi pantulan cahaya jingga
Menyentak jiwa
Memadukan hasrat untuk meminta

Kulihat…
Ada mawar merah
Merekah indah di samping telaga tua
Membidik hati untuk berusaha menjamah

Kulihat…
Ada semburat warna pelangi mewarna
Mematung rasa
Untuk terpaku dalam fana.

Kulihat…
Hamparan permadani di masjid tua
Menyanggah tubuh tuk menghiba
Sembari haturkan
Jiwa hina datang meminta

Kulihat…
Kuasa Tuhan
Adalah segala




Nur Rohim Yunu
Kuwait Permai, Islamabad 27 Juli 2007
Saat silaturrahmi dan diskusi santai bersama Abdul Khaliq Saman

HARAPAN


Ketika kesengsaraan
berkelana dalam sanubari insan
Saat itulah
Kutemukan
Ada sebiduk perahu melaju
Menuju dermaga harapan


Nur Rohim Yunus
Melody Islamabad, 15 Juli 2007
Saat Mengecek Printer Ida di Rumah Pak Budi

Thursday, July 26, 2007

P E R J A L A N A N S A N G P E T U A L A N G


Aku adalah generasi muda yang hilang
tapi bukan berarti aku terbelakang
Semangat hidupku sulit layu dan pudar
Berkobar dan terus berkembangitulah sebabnya
Aku tak pernah mau mati
Bahkan aku ingin hidup seabad tahun lagi
Aku adalah angin kencang
Yang bertiup berputar mengitari bola dunia kehidupan
aku ada di mana-mana dan mampu ke mana-mana
bila kau sedang sibuk berdiskusi
Pasti ku selalu ada menengahi
Bila kau sibuk berkelahi
Aku laksana sang bapak kan siap melerai

aku adalah titisan kapas - ringan melepas
aku adalah rotan - liat tak patah - tapi bisa putus.
Sudah terlalu jauh ku berkelana
menyeberangi pulau bahkan laut samudra
bahkan gurun pasir sahara
dan gunung salju pegunungan himalaya

tapi kini aku sudah lelah
bersembunyi ditengah kesunyian dari hiruk pikuk metropolitan
dan aku ingin kembali menyeruak
ke tengah kerumunan prahara susah duka kehidupan

dimana mana ku berjuang
dimana mana kumiliki teman
itulah sebabnya ada yang bilang
aku bak burung
bisa selalu terbang sampai ketitik puncak awan

karena semua orang tahu
ku punya besi tua tunggangan
yang dapat ku ajak melaju kencang
yang tak pernah takut bakal kehausan
apalagi hanya panas api memanggang

itulah hakikat perjuangan
tak peduli dimana kelak kuburan
asal tahu tempat pengabdian
disitu tempat mahligai cinta perjuangan

tanah-air ku adalah kebebasan itu sendiri
garam asam dan siksa dunia adalah makanan kemandirian
tapi aku tak pernah bisa lekang
karena kuingin selalu hidup seabad tahun mendatang

aku adalah pemuda petualang
dari generasi muda yang hilang
tapi semangat hidup ku tumbuh dan terus berkembang
di mana ada tanah dan bibit rumput ilalang
aku dan kader generasiku terus berdatangan
karena kutahu hakikat perjuangan

Kini…
Ku ingin pulang…
Melanjutkan likaliku perjuangan
Yang telah lama kutinggal…
Dikota itu



Nur Rohim Yunus
Islamabad, 2 Juli 2007
Buat sahabatku Ahmadi Usman
Pemuda petualang yang tak pernah lekang walau badai menghalang
Salam kompak buat motor bututnya, kapan kita dorong lagi nih…

Thursday, July 12, 2007

Nasehat tuk Sahabat


Sahabat,
ketika sauh bahtera kehidupan telah diangkat,
saat itu kita telah mempersiapkan diri
tuk menghadapi ragam gelombang tantangan dan rintangan.
Layar yang terkembang dari biduk yang mengayuh,
adalah motivasi dari mawas diri untuk berbuat lebih terarah.
Hanya dengan saling bahu bahu antar awak kapal,
bahtera yang melaju akan menepi menggapai dermaga cinta dan harapan.
Cinta karena DIA semata.


Nur Rohim Yunus

Tuk Sahabat Ayin

di Negri Jember, 22 Juni 2007

Meraih Langit

Meraih langit saat matahari terhanyut dalam titik air.
Mencoba berhenti
dan mendengarkan dunia lewat bisikan burung,
yang beterbangan menjelajahi putih jiwa.
Bercerita tentang hidup,
dan Pencipta kehidupan.

Nur Rohim Yunus
Islamabad, 09 Juni 2007

Tuesday, July 3, 2007

Bobroknya Negri Pertiwi


Negri kami bagai negri anta baranta di cerita legenda

Memiliki raja dan rakyat yang elukan kedamaian

Tapi selalu ramaikan suasana dengan keributan

Lantaran ingin kenyangkan perut yang kelaparan

Negri kami tertipu oleh didikan budaya masa silam

yang penjajah ajarkan jiwa-jiwa kepatuhan

Patuh kepada ndoro-ndoro para pecundang kesiangan

Patuh kepada perbudakan yang menelantarkan hakikat kemanusiaan.

Negri kami memang mendapat pendidikan dari kaum Kolonial

Tapi pendidikan untuk menjadi bangsa bobrok tak peduli persatuan.

Pendidikan yang menghantarkan kami pada pertikaian dan permusuhan

Hingga pembunuhan, kerusuhan dan percekcokan antar suku jadi kebiasaan.

Bangsa kami paling suka kekayaan,

Apalagi dibarengi kesenangan dan kenikmatan

Yang akhirnya meluluh lantakkan makna kehormatan.

Yang hanyutkan jiwa –jiwa kepatriotan.

Yang benamkan raga-raga menuju kebinasaan.

Kami lupa…

Kalau kelak anak cucu terwariskan peradaban kotor berantakan

Karena ulah para moyang yang tak tahu hakikat kekekalan.

Di kota-kota besar hingga desa-desa terpencil

Para pecundang negri punya aksi seribu bukti

Tak peduli...

Dari yang berprofesi sebagai birokrat sejati

Hingga pengemudi mobil taksi

Seakan tak mau peduli

Asal kenyangkan syahwat pribadi

Hak saudara pun digasak hingga tak tersisa sama sekali

Ditingkat peradilan, hukum hanya sebatas slogan

Banyak hakim, jaksa dan pengacara tak tahu lagi harga inti keadilan

Pencuri kelas teri diberi sanksi berat

Tapi koruptor kelas kakap dapat lepas bebas

Karena mampu bungkamkan mulut-mulut praktisi peradilan

Dengan sekarung uang recehan

Hingga kembung mereka punya perut kedurjanaan

Duh...

Kemana lagi kan kami cari

Kedamaian sejati bebas polusi

Yang selamatkan negeri dari racun berduri

Hingga mampu angkat peradaban pertiwi

Menuju kedamaian hakiki

Terkatup bibir tanpa kata

Meski terangan seribu impian berbingkai asa

Walau cahaya lilin hampir tak menyala

Tapi ribuan tangan lemah masih menengadah

Menyongsong harapan diatas hamparan sajadah tua

Wahai kawula negri

Masih adakah ia?...

Masih adakah keadilan, kemuliaan atau kedamaian yang kami butuhkan?

Jawab! Jawablah...

Jangan kau bungkam terdiam bak patung berhala kaum jahiliyah

Yang dengan lemahmu kau pecundangi akal dan nurani rakyat negri

Kami dan semua jiwa yang punya hasrat

Masih akan terus meratap

Meski harus terpasung bersama fatamorgana gelap

Dan mencabik halus raga-raga yang tersesat

Jiwa mengangan...

sanubari padukan tutur kata dan hayalan

Bersama impian dan kenyataan

Hingga mampu menggiring kepalsuan

Menjadi fakta dan kebenaran

Dibalik peluh lelah yang menetes

Ada bibir mungil lemah dari anak jalanan bersyahdu lirih

Terungkap untaian nada berirama kidung-kidung nestapa berkata:

"Sabar, sabarlah jiwa

Tanpa kemuliaan bangsa

Badan tiada lagi berkepala"

Nur Rohim Yunus, Negri Ali Jinah, 15 April 2007


Ketika kudengar Kedaulatan Negri tinggal seujung jari .
Dibacakan pada Acara Sharing Menulis FLP di Halaman Rumah Bapak Dr. Memed Gunawan

DOA PESAKITAN


Ya Allah...

Hamba tahu

Diri hamba hina bertitian dosa dan karat yang melegam

Diri hamba renta tak mampu lepas dari berpegang

Bila hasrat jiwa boleh melekang

Ingin ku tabur benih cinta di lubuk hati Mu

Agar kudapat bersua

Dalam aroma nafas takdir kasih Mu

Ya Allah...

Dalam lelap kutertidur

Senantiasa terselip nama kasih Mu

Tapi terkadang jiwa ini terlena

Bersama alunan kidung kidung setan

Yang membawaku dalam pesona dunia

Yang ku tahu

Ia akan pudar

Bersama hayalan semu belaka

Ya Allah...

Ampunkan hamba...

Nur Rohim Yunus

Islamabad, 14 April 2007

PRAHARA LANGIT TUJUH TINGKAT

Kulalui langit tujuh bertingkat

Tapi…

Tak pernah kugantungkan asa kecuali peluh yang mengena

Dalam kerimbunan…

Kulalui atap langit dengan kepakan sayap rajawali

Aku terkulai

Tak kudapatkan rona merah wajah langit yang menawan

Atau biru cerah yang memikat kalbu

Kuterkulai dalam lelah

Tak pernah kusuah wajah langit

Suatu ketika kulalui tingkat pertama

Kutemukan wajah langit bumi andalas

Ia lelap hilang karena terpaut kasta yang berbeda

Ia terlalu borju untukku…

Pada tingkatan kedua…

Kutemukan lagi wajah langit

Tapi ia hanya fatamorgana gelap dalam sesat

Karena ternyata ia tak pernah ada dihatiku

Pada tingkatan ketiga

Kulihat sinar rona wajah langit

Tapi …

Ia bukan apa-apa

Ia hanya harapan yang berputar menghibur diri

Tapi tak pernah pedulikan ku

Yang meratap lelah lalu tersungkur

Ku kecewa

Pada tingkatan langit keempat

Kutemukan lembut merona bak sutra yang mewangi

Dialah langit cintaku

Tapi kesabaran hati yang menggugur layu

Cerita langit hanya sebatas lalu


Ditingkat kelima

Kutatap anggun setia wajah langit

Halus pengertian seakan berkata

Berlalulah …

Ketika kutahu

Aku bukan apa apa…


Pada tingkatan keenam

Kutemukan Semu wajah langit meyakinkanku

Tapi

Ia pun bukan apa apa

Ketika kutatap bening air mata mengalir

Ia masih sempatkan haturkan senyum

Kulepaskan ia

Karena ku tahu

Perjalananku masih jauh


Sampai akhir kepakanku di penghujung Langit ke tujuh

Ku tahu

Ia adalah akhir perjuanganku

Lelah bersama kutanggung

Duka lara menjadi hiburan

Tapi

Ia pun akhirnya lenyap

Ketika kutambatkan hasrat dengan kepolosan

Dan kedunguan serta ketidak mampuanku

Betapa diriku tak punya apa apa

Hanya sayap renta yang ku punya

Ia pun akhirnya lenyap

Bersama awan dan halu biru langit kelam

Ia tak pernah peduli

Tinggalkan aku dalam kepongahan

Ia buta…

Ia resah…

Ia hanya pedulikan kebahagiaan sendiri

Kubenci dia karena cinta

Ku muak dia dalam kasih sayang

Akhirnya kulepas derita langit

Kutak ingin lagi

Temukan prahara langit

Atau tatap wajah langit

Biarkan kulalui derita bumi

Bersama impian dan hayalan

Hingga kuterjaga

Beriring hangat mentari pagi mengingatkan

"bangunlah…perjalananmu masih panjang…

Teruslah melangkah…

Ketahuilah …

Aku masih ada untukmu…

Selalu…."

Terima kasih mentari pagiku…

Kini kusadar…

Engkaulah pemberi semangat hidupku selamanya.

Nur Rohim Yunus
Rawalpindi Caklala Scheme 3, 20 Juni 2007

Monday, June 25, 2007

MERAIH LANGIT

Meraih langit

Saat matahari terhanyut dalam titik air.

Mencoba berhenti

dan mendengarkan dunia lewat bisikan burung,

yang beterbangan menjelajahi putih jiwa.

Bercerita tentang hidup,

dan Pencipta kehidupan.

9 Juni 2007

Thursday, June 14, 2007

PEDANG JIWA


Nisan batu kapur telah ditempa untuknya
dari seorang pengejar bayang-bayang manusia rapuh.
Ukiran di batu kapur itu:
“Kepada sang penanti prahara di negri cinta dan kehidupan.”

Telah lama disediakan,
semenjak ia mencakar tangis pertama.

Lelah dalam asa
Redup dalam sembilu tawa
Kilauan pedang adalah raga bertahta

Jumat, 13 April 2007